Home / Kabar Khusus / Sang Pembawa Cap
Sang Pembawa Cap
Tak sulit bagi Tuan Bujang untuk merebut Kerajaan Johor.Tapi hanya bertahan tiga tahun.
Yam Tuan Sakti, Maharaja Minangkabau ini kaget sekaligus takjub saat nahkoda malin memperkenalkan
Tuan Bujang. Lelaki tampan yang belakangan disebut sebagai Rajak Kecik, pendiri Kerajaan Siak Sri Indrapura.
Putri Jamilan, ibunda Yam Tuan Sakti yang kemudian merawat raja Kecik. Tapi saat umur 13 tahun, Tuan
Bujang sudah pamitan merantau ke Batang Hari, Jambi. Alasannya mau mencari ilmu dan pengalaman. Tapi di perantauan, Tuan Bujang justru sudah beberapa kali menginjak tanah kelahirannya, Johor.
Waktu itu dia diangkat Sultan Lumabang, Raja Palembang, sebagai pembawa Tepak Sirih Diraja. Lantaran itu pula, kemanapun raja berkunjung, Tuang Bujang tak pernah tinggal, termasuk saat Sultan Lumabang berkunjung ke Johor.
Di sana banyak mata orang tertuju pada wajah Tuan Bujang. Banyak menyebut kalau wajah lelaki ini mirip dengan wajah almarhum Sultan mahmud Syah II, sosok yang pernah menjadi raja di Kerajaan Johor.
Tuan Bujung tak ambil pusing dengan tatapan aneh itu meski dalam hatinya sudah bulat tekad bahwa suatu saat dia akan kembali ke Johor, merebut kembali singganasa ayahnya, Sultan Mahmud Syah II.
Waktu berada di Bangka setelah dari Johor dan Siantan, Tuan Bujang pamit untuk berangkat ke Rawas di Jambi. Di sana dia mengawani Encik Kecil, putri Dipati Batu Kucing. Dari perempuan ini, Tuan Bujang mendapat keturunan laki-laki yang kemudian diberi nama Raja Alam yang kelak menjadi Raja Siak ke-4 bergelar Sultan Abdul jalil Alamudin Syah.
Raja Alam lah yang kemudian memindahkan pusat kerajaan ke kawasan Senapelan yang lama kelamaan berkembang menjadi Pekanbaru. Maklum, pada jaman itu, bandar dagang di sana banyak disinggahi kapal-kapal dari berbagai penjuru, termasuk dari Melaka, Johor dan bahkan Cina.
Dan di jaman Raja Alam lah kemudian darah Sayed mulai bercampur dalam zuriat kerajaan Siak. Sebab saat itu, Raja Alam mengawinkan putrinya Tengku Embung Badariah dengan seorang bangsawan arab bernama Sayed Osman bin Sayed Abdurrahman Syahabuddin.
Dari Rawas, Tuan Bujang hijrah ke Jambi dan mengabdi kepada Sultan Maharaja Dibatu yang kala itu sedang berperang melawan saudara sultan yang memberontak. Setelah pahanya yang cedera saat pertempuran pulih, Tuan Bujang pulang ke Pagaruyung. Orang istana tahu kalau kepulangan Tuan Bujang ke Pagaruyung bukan untuk menetap di sana, tapi justru hanya sekadar pamitan untuk menjalankan niat utamanya; merebut kembali tahta kerajaan Johor.
Meski percaya bahwa Tuan Bujang adalah anak Sultan Mahmud Syah II, bukan berarti Tuan Bujang dilepas begitu saja.
Ada sederet ujian yang dijalani Tuan Bujang. Mulai dari memegang sebatang kayu yang terbalut getah jelatang, hingga memakai mahkota yang dimantra oleh Yam Tuan Sakti.
Tujuannya, kalau Tuang Bujang bukan anak Sultan Mahmud Syah II, maka saat memegang getah jelatang itu, tubuh Tuan Bujang akan rusak dan dia akan kena tulah lantaran memakai mahkota itu. Tapi kenyataannya Tuan Bujang baik-baik saja. Lantaran itu pula Tuan Bujang kemudian diberi gelar Yam Dipertuan Kecil. Namanya juga dibikin Raj Beralih.
Beres menjalani ujian, Tuan Bujang dibekali pedang Saurajabe --- sebahagian orang menyebut pedang
itu Sepurejab --- sekapur sirih, rambut sepanjang 30 kaki, dua kulit kupang dan sebuah cap.
Cap ini sebagai pertanda bahwa yang membawa cap itu adalah Tuan Bujang. Dan siapapun orang Minangkabau yang ditemui di perjalanan, musti memberikan bantuan.
Terakhir, sebelum akan berangkat ke Bukit Batu di Bengkalis, Tuan Bujang dikasi empat orang hulu balang; Datuk Lebinasi, Datuk Kerkaji, Raja Mandailing dan Sultan Pakadalian.
Di Bukit Batu, orang tak kenal dengan Tuan Bujang. Sebab selama di sana, lelaki ini justru dikenal sebagai pedagang telur dan ikan terubuk. Tak hanya jualan di sana, dia juga sampai ke Malaka pakai kapal Nahkoda Penangkok.
Sebahagian orang menyebut, hilir mudiknya Tuan Bujang dari Bukit Batu ke Malaka bukan sekadar jualan, tapi juga untuk mencari tahu kondisi terkini kerajaan Johor.
Makanya pas dia beranggapan sudah saatnya menyerang Johor, barulah cap pemberian Yam Dipertuan Sakti dikeluarkan.
Banyak orang kaget setelah Tuan Bujang mengeluarkan cap itu. Khususnya orang-orang Minangkabau yang ada di sana.
Biar kekuatan untuk menyerang Johor mumpuni, Tuan Bujang juga meminta bantaun orang Minang di Batubara.
Bantuan pimpinan Bugis, Daeng Perani juga dia minta. Daeng lah yang kemudian pergi ke Langkat meminta bantuan.
Selagi menghimpun kekuatan, kabar kalau Tuan Bujang akan segera merebut tahta Kerajaan Johor dan membalas kematian ayahnya, sudah sampai di telinga para pembesar istana istana, termasuk Laksamana.
Para pembesar inilah yang kemudian menjadi ‘kibus’ dan bahkan mengisi meriam yang ada di kerajaan dengan air. Kekuatan dianggap sudah oke, penyerbuan pun dimulai. Daeng tak ikut. Yang ikut malah Raja Negara Selat, pimpinan orang-orang laut. Dan singkat cerita, persis tahun 1718, Tuan Bujang dinobatkan menjadi Raja Johor dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah.
Tak ada yang memungkiri cerita yang pernah ditulis dalam Hikayat Siak ini, tak terkecuali Elisa. Netcher, seorang penulis berkebangsaan Belanda yang kemudian meninggal di Batavia pada April 1880. Saat meninggal, Elisa baru berumur 54 tahun.
Begitu juga dengan Leonard Andaya, seorang profesor Sejarah Asia Tenggara di Universitas Hawaii di Manoa dan Raja Ali Haji yang sempat membikin buku Tuhfat al Nafis. Perbedaan yang ada hanya pada hulu balang yang ikut bersama Tuan Bujang saat berangkat dari Pagaruyung ke Bengkalis.
Bahwa Tuan Bujang ditemani lima hulu balang; Syamsuddin bergelar Sri Perkirma Raja (Datuk Tanah Datar), Bebas bergelar Sri Bejuangsa (Datuk Lima Puluh), Syawal gelar Sri Dewa Raja (Datuk Pesisir), Yahya gelar Maharaja Sri Wangsa (Datuk Hamba Raja) dan Hamzah gelar Buyung Ancak (Putra Titah Sungai Tarab).
Lalu waktu mau menyerang Johor, batin-batin di Bengkalis semisal Batin Hitam di Senggoro, Batin Putih di Ketamputih dan Batin Tua di Bantan, juga ikut membantu Tuan Bujang. Sebab mereka sangat yakin bahwa Tuan Bujang adalah keturunan Sultan mahmud Syah II.
Setahun menjadi raja di Kerajaan Johor, Tuan Bujang masih disibukkan dengan gejolak. Bahkan lantaran gejolak itu dia hampir tumbang dari singgasana.
Persoalan paling mendasar penyebab gejolak itu adalah saat pertunangannya dengan Tengku Tengah kandas di tengah jalan.
Tuan Bujang lebih memilih mengawini adiknya, Tengku Kamariah. Dari Tengku Kamariah inilah kelak lahir Tengku Buang Asmara yang kemudian menjadi Sultan Siak ke-2. Dia bergelar Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaludin Syah.
Lalu fitnah yang semakin kuat soal dia dia bukan lah anak dari Sultan Mahmud Syah II. Fitnah ini justru digembar-gemborkan oleh Sultan Abdul Jalil Rayat Syah IV, Raja Johor yang sudah dimakzulkan.
Puncaknya dan kemudian membikin Tuan Bujang hengkang ke Riau adalah saat Tengku Kamariah menjadi cuek dan lebih memilih pergi ke Trengganu dan menetap di Pahang. “Ini negeri celaka!Baik kita pindah ke Riau,” begitulah teriakan Tuan Bujang sangking kesalnya.
Di sana --- Bintan --- dia membikin istana berbunga lawangan emas. Dari sinilah dia mengendalikan pemerintahan Kerajaan Johor.
Tapi sepeninggal Tuan Bujang, Datuk Bendahara justru langsung mengangkat dirinya menjadi raja dan mendirikan ibukota kerajaan di Pahang.
Adiknya, Tun Abdul Jamal diangkat sebagai Bendahara. Inilah yang kemudian membikin dualisme pemerintahan di kerajaan Johor. Satu berpusat di Riau, satu lagi di Pahang.
Tuan Bujang tak mau ini terjadi. Dia kemudian mengundang mertua dan istrinya datang ke Riau. Dia mengirim Laksamana Nahkoda Sekam untuk menjembut.
Kalau tak bisa dibawa baik-baik, paksa. Begitulah titah Tuan Bujang. Undangan itu ditolak sang mertua. Inilah yang membikin perang yang tak terelakkan antara pasukan Laksamana Nahkoda Sekam dan pasukan bekas Sultan Johor itu. Kalah perang, sang mertua baru mau berangkat ke Riau.
Tapi sebelum berangkat, Tuan Bujang sudah mengutus mas Radin membawa surat yang isinya membikin bulu kuduk bergidik. "Janganlah Sultan Abdul Jalil itu dibawa ke Riau lagi. Bunuh sajalah. Kita tahu matinya saja," begitu isi surat itu.
Nahkota Sekam menjalankan titah itu. Dibikinlah skenario seakan-akan ada amukan di dalam kapal. Sultan tewas berlumur darah. Mayatnya kemudian dimakamkan di Kuala Pahang dan diberi gelar Marhum Mangkat di Kuala Pahang.
Kematian Sultan ini pun memunculkan dendam. Dua tahun sebelum Tuan Bujang hijrah ke Buantan, Raja Sulaiman, saudaranya Tengku Tengah, mengirim surat ke Upu-Upu Bugis liam bersaudara di Matan, Kalimantan. Dia mengambarkan kalau dia dan adik-adiknya seakan-akan menjadi tawanan Tuan Bujang.
Membaca surat itu, Upu-upu marah besar. Dia memboyong sekitar 1000 ahli perang di dalam tujuh kapal besar beserta beberapa kapal kecil untuk menyerang Tuan Bujang. Perang yang tak terelakkan berkobar selama dua hari di Pulau Penghujan, bayan, Penyengat dan Tanjung Bemban.
Mau tak mau Tuan Bujang mundur ke Lingga. Tapi dia tak yakin akan bisa bertahan di sana. Akhirnya Tuan Bujang memilih pergi ke Siak dan mendirikan kerajaan baru di Buantan. Inilah cikal bakal Kerajaan Siak Sri Inderapura itu.
Komentar Via Facebook :