Home / Sawit / Kala Harga CPO Naik, Rupiah Menguat Tapi Praktisi Sawit Bakal Gigit Jari
Kala Harga CPO Naik, Rupiah Menguat Tapi Praktisi Sawit Bakal Gigit Jari
Medan, katakabar.com - Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sedang naik di pasar global belakangan ini. Hal tersebut menurut data yang diperoleh EMG. Tapi tidak tercermin dari hasil tender yang digelar PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) yang menunjukan grafik kenaikan harga dari Jumat hingga Rabu, 16 hingga 21 Agustus 2024.
"Tapi pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) lagi mengurangi atau menahan laju pembelian buah kami," kata Ucok K, seorang petani sawit swadaya asal Kecamatan Kerumutan, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
Sekadar informasi, yang dimaksud "buah kami" oleh Ucok K adalah tandan buah segar (TBS) dari hasil perkebunan kelapa sawit milik para petani.
Dilansir dari laman elaeis.co, Kamis (22/8), anggota DPW Asosiasi Sawitku Masa Depanku (SAMADE) Provinsi Riau ini merasa heran melihat sikap sejumlah PMKS di Pelalawan dan sekitarnya.
"Padahal harga CPO lagi naik selama beberapa hari terakhir. Kok PMKS mengurangi atau menahan pembelian TBS kami ya," ujarnya dengan nada bertanya.
Menyikapi hal itu, pengamat ekonomi asal kota Medan, Gunawan Benjamin menyatakan, ada penyebab dari perubahan sikap manajemen di banyak PMKS di Indonesia.
Terutama, ucap akademisi dari kampus Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) ini, disebakan faktor menguatnya nilai mata uang Indonesia, Rupiah, terhadap Dollar Amerika Serikat (AS) beberapa waktu belakangan ini.
"Kinerja mata uang rupiah yang menguat tajam tentunya menjadi kabar baik bagi ekonomi nasional," ujar Gunawan Benjamin.
"Saat ini Rupiah terus menekan US Dolar, dan berakhir di level Rp 15.480 per US Dolar sejauh ini," tuturnya lebih lanjut.
Padahal, ulas dia, mata uang Rupiah sempat menyentuh Rp16.500 per US Dolar pada bulan juni sebelumnya, sekaligus memasuki level yang terendah bagi Rupiah selama tahun 2024.
Dijabarkan, penguatan Rupiah akan membuat sejumlah harga kebutuhan masyarakat mengalami penurunan, menekan besaran utang luar negeri, atau mengindikasikan kinerja ekonomi makro yang kian terkendali.
Tapi, ucapnya, penguatan Rupiah justru tidak menjadi kabar baik bagi pelaku usaha maupun para petani yang ada di Sumut dan daerah lainnya.
"Pelaku usaha yang dimaksud adalah pelaku usaha yang berorientasi ekspor. Salah satunya adalah eksportir CPO," bebernya
Ia melihat hampir sepanjang bulan Agustus ini, harga CPO nyaris bergerak sideways atau berdampingan dalam rentang USD 850 hingga USD 900 per ton di pasar global.
"Bahkan hanya bergerak dalam rentang sempit di dua pekan terakhir di kisaran RM 3.675 hingga RM 3.750 per ton. Artinya, harga CPO bergerak sideways dengan fluktuasi yang sangat terbatas," terangnya.
Jika kondisi ini tidak dibarengi dengan peningkatan permintaan, sebutnya, maka dalam nominal pendapatan dari sisi ekspor bisa turun.
Dia bilang, para pengusaha bakal mendapatkan konversi pendapatan dalam Rupiah yang lebih kecil seiring dengan penguatan Rupiah.
"Dan saya khawatir, melemahnya pendapatan pelaku usaha tersebut bisa berdampak pada potensi penurunan harga pembelian TBS Sawit di level petani sawit," urainya.
Jadi, sambungnya lagi, sekalipun penguatan Rupiah memberikan banyak keuntungan bagi perekonomian Sumut maupun nasional secara keseluruhan.
"Tapi hal ini memiliki dampak negatif bagi para petani maupun pelaku usaha sawit yang berorientasi ekspor," tegasnya.
Komentar Via Facebook :