Home / Politik / 'Mosi Tidak Percaya' 36 Orang, Ini Sikap dan Penjelasan Ketua DPRD Bengkalis
'Mosi Tidak Percaya' 36 Orang, Ini Sikap dan Penjelasan Ketua DPRD Bengkalis
Pekanbaru, katakabar.com - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bengkalis, Khairul Umam secara terbuka tanggapi 'mosi tidak percaya' Pimpinan dan Anggota DPRD kepada dirinya selaku Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis Periode 2019-2024.
Menurutnya, negara Indonesia termasuk di dalamnya masyarakat Kabupaten Bengkalis, telah sepakat untuk menitipkan hak dan kewenangan menjalankan negara kepada pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, dengan cara dan proses yang demokratis dan partisipatif (sesuai apa maunya masyarakat).
Memang, masih terdapat kekurangan terus diupayakan untuk disempurnakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di daerah Kabupaten Bengkalis. Tapi, apa yang menimpa saya sungguh telah mengkhianati cita-cita besar dari pemerintahan yang demokratis (dari rakyat untuk rakyat).
"Bagi saya, jabatan sebagai ketua DPRD bukan sesuatu hal yang menjadi persoalan utama atau alasan utama, sehingga saya perlu untuk merespon dengan sikap 'melawan' seperti saat ini. Melainkan tidak lain tidak bukan yang saya lakukan dilatarbelakangi panggilan semangat (Ghiroh) untuk menjaga dan mengawal penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kabupaten Bengkalis 'tetap pada koridor hukum dan demokrasi', tegas lewat keterangan resminya yang diterima katakabar.com, pada Kamis (21/9).
Lebih jauh lagi kata Khairul Umam, hal ini saya lakukan semata-mata untuk mempertahankan 'suara rakyat' Bengkalis hasil Pemilu yang sah dan demokratis.
Suara rakyat tersebut direpresentasikan kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan dititipkan pada saya selaku salah satu anggota fraksi PKS yg menjadi pemenang Pemilu pada tahun 2019.
"Berdasarkan peraturan perundang-undangan, jabatan ketua DPRD itu diisi berasal dari 'anggota partai pemenang Pemilu'. Begitu pula bila nanti terjadi usulan pergantian, partai pemenang Pemilu tetap mengisi jabatan itu," jelasnya.
Untuk itu sambungnya, saya mengajak kita semua merenungkan sejenak saja, tanggalkan urusan kepentingan, gunakan hati nurani dan akal sehat.
Pertama, dalam merespon masalah ini, apakah pelanggaran yang saya lakukan selaku ketua DPRD Kabupaten Bengkalis selama menjalankan tugas, sehingga layak untuk diusulkan pemberhentian sebagai Ketua? Adakah alasan tersebut termuat dalam peraturan dan perundang-undangan? Bisakah pihak-pihak yang menentang kepemimpinan saya tersebut menguraikannya?
Kedua, apabila tidak dapat ditemukan alasan pemberhentian yang dimaksud menurut peraturan perundang-undangan, apakah segala usaha, strategi, kompromi, kebijakan, dan aksi yang dilakukan untuk mengganti kepemimpinan saya sebagai Ketua DPRD Bengkalis adalah sebuah tindakan yang dapat dibenarkan?
Setelah sejenak kita renungkan hal yang saya sebutkan tadi. Terakhir, sekali saya ingin kembali pada suara rakyat Kabupaten Bengkalis yang diperjuangkan selama ini DPRD.
"Saya anggap upaya ini adalah pembangkangan terhadap 'prinsip demokrasi' dalam mengelola pemerintahan di daerah. Itu sebabnya, masyarakat 'Negeri Junjungan' namal lain dari Kabupaten Bengkalis harus tahu siapa saja 'aktor pembangkangan demokrasi' tersebut dan bagaimana sikap saya untuk mempertahankan prinsip demokrasi," ulasnya.
Dijabarkan Khairul Umam, sesuai peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota, Pasal 35 yang menyatakan, “Pimpinan DPRD merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kologial” terhadap penerapan Pasal 35 ini, adakah H Khairul Umam, Lc, M.E.Sy selaku Ketua DPRD Kabuoaten Bengkalis bersikap otoriter dan mengabaikan asas demokrasi yang bersifat kologial, yakni tidak memberikan kewenangan kepada para Wakil Ketua? Jawabannya ialah, saya selaku Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis selalu mengedepankan kolektif kologial dalam menjalankan oimpinan DPRD Kabupaten Bengkalis.
"Saya tidak otoriter, hal ini dilakukan karena saya memahami maksud dari kolektif kologial merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukan kepemimpinan yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam semangat kebersamaan," terangnya.
Merujuk Penjelasan Pasal 35 PP 12 Tahun 2018 menyatakan yang dimaksud dengan “Kolektif dan kolegial” adalah tindakan dan atau keputusan rapat paripurna oleh 1 (satu) atau lebih unsur Pimpinan DPRD dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang Pimpinan DPRD sebagai Tindakan dan atau keputusan semua unsur Pimpinan oleh Ketua atau Wakil Ketua DPRD mempunyai kekuatan hukum sama.
Berdasarkan pengertian dan pada penjelasan Pasal 35 tersebut sangat jelas, bahwa kolektif kolegial hanya berlaku pada rapat paripurna dan itupun harus “kepemimpinan yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam semangat kebersamaan.
Nyatanya, untuk membuat 'mosi tidak percaya' yang dipimpin salah satu Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis secara langsung bisa memimpin Rapat paripurna DPRD Kabupaten Bengkalis sekalipun tidak diagendakan melalui rapat pimpinan DPRD sebagaimana rujukan Tata Tertib (Tatib) serta tidak melibatkan dua orang pimpinan DPRD, yakni 'saya dan saudara Syahrial', justru tindakan memimpin rapat paripurna tersebut bisa dikategorikan sebagai tindakan otoriter, sebab bertindak 'sewenang-wenang' dan 'merasa berkuasa sendiri'.
"Soal tuduhan 'mosi tidak percaya' oleh 36 orang anggota DPRD Kabupaten Bengkalis jika dilatarbelakangi adanya Proses PAW 4 orang anggota Golkar yang telah pindah ke Partai PDIP serta berdalih terhadap proses PAW ada gugatan ke Pengadilan Negeri Bengkalis, mosi tidakl tepat dan terkesan mengada-ada," tuturnya.
Masih Khairul Umam, analisa dan penjelasan saya ialah dalil-dalil demikian apakah cukup dijadikan mosi tidak percaya? Sungguh sangat-sangat keterlaluan bila itu benar-benar terjadi, padahal proses PAW yang dilakukan oleh saya selaku Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis sesuai ketentuan hukum dengan merujuk Pasal 128 Tata Tertib DPRD Kabupaten Bengkalis Junto Pasal 100, Pasal 104 peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dan merujuk Surat Keputusan resmi DPP Partai Golkar pada 4 Agustus 2023 Nomor: B-1004/GOLKAR/VIII/2023 yang masuk dimeja Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis, kemudian pada 10 Agustus 2023 Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis menyurati KPU Kabuoaten Bengkalis sebagai lembaga resmi Negara yang berhak menentukan siapa yang sah untuk menjadi anggota DPRD penggantinya, yakni dengan Nomor surat 100.1.4.2/240/DPRD.
"Apa yang melatarbelakangi 'mosi tidak percaya' dengan menempel isu proses PAW 4 orang anggota Golkar yang telah pindah ke Partai PDIP merupakan dalil yang menciderai semangat Demokrasi dan menciderai kelembagaan DPRD Kabupaten Bengkalis," bebernya.
Jika sejauh ini terdapat tindakan saya selaku Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis telah melakukan perbuatan yang melanggar kode etik dalam Proses PAW 4 orang anggota Golkar yang telah pindah ke Partai PDIP, mestinya pengaduan yang dilakukan 36 Anggota DPRD Kabupaten Bengkalis memenuhi prosedur sebagaimana di maksud dalam Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85 Peraturan DPRD Kabupaten Bengkalis Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan DPRD Kabupaten Bengkalis Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) DPRD Kabupaten Bengkalis masa jabatan 2019-2024.
"Padahal saya sudah sampaikan secara tertulis kepada Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Kabupaten Bengkalis akan memberikan klarifikasi jawaban atas pengaduan dengan ketentuan memperbaiki Pengaduan prosedur hukum sebagaimana diatur dalam Tatib kedewanan," ceritanya.
Tapi yang terjadi ucapnya, pengaduan 36 Anggota DPRD Kabupaten Bengkalis, berupa menandatangani "mosi tidak percaya' kepada saya selaku Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis diduga dilakukan dengan cara penggelapan prosedur hukum, mengangkangi Tatib DPRD Kabupaten Bengkalis, kemudian Badan Kehormatan (BK) secara gegabah dan terburu-buru membacakan Surat Keputusan dan rekomendasi terkait adanya 'mosi tidak percaya' pada 19 September 2023 meski belum ada klarifikasi, dan verifikasi dari saya.
Prosedur demikian sangat bertolak belakang dan justru melanggar kode etik terhadap Peraturan DPRD Kabupaten Bengkalis Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan DPRD Kabupaten Bengkalis Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPRD Kab. Bengkalis Masa Jabatan 2019-2024.
Dugaan adanya penggelapan prosedur hukum sebagaimana diatur dalam Tatib DPRD Kabupaten Bengkalis diperkuat karena Badan Kehormatan (BK) DPRD Kabupaten Bengkalis masuk ke dalam 36 anggota DPRD Kabupaten Bengkalis yang mengusulkan 'mosi tidak percaya', sehingga prosedur demikian dilakukan untuk mengakamodir kepentingan kelompok tertentu dan tidak lagi mengutamakan kepentingan masyarakat Kabupaten Bengkalis, dugaan ini disampaikan karena Conflict of interest harus dihindarkan dalam proses pengaduan.
Saya menyadari, Lembaga DPRD Lembaga politik sehingga setiap tindakan anggota DPRD termasuk membuat 'mosi tidak percaya' ini merupakan ekspresi politik. Tapi, substansi yang disampaikan mesti jelas, bukan 'asal tuduh' tanpa menjelaskan bentuk tindakan yang bertentangan dan harus sesuai prosedur hukum sebagaimana dimaksud dalam peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib (Tatib) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dan Tatib DPRD Kab Bengkalis serta menjelaskan pasal dan ayat berapa yang bertentangan dan yang di langgar.
Hal itu penting agar Lembaga DPRD bukan menjadi medan pertarungan fitnah, tapi medan pertarungan ide dan gagasan untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat Kabupaten Bengkalis, tegasnya
Bawa Permasalahan ke Ranah Hukum
Merujuk pada analisis dan penjelasan tentang substansi serta lahirnya 'mosi tidak percaya' yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis yang memimpin rapat paripurna DPRD Kabupaten Bengkalis tindakan yang melanggar ketentuan PP 12 tahun 2018 Pasal 35, Pasal 37 tentang sifat kolektif dan kologial dari Pimpinan DPRD, sebab berdasarkan ketentuan tersebut tugas dan wewenang memimpin rapat DPRD sebagimana di maksud Pasal 33 huruf a adalah tugas yang melekat pada jabatan pimpinan DPRD secara kolektif dan kologial bukan pada unsur wakil ketua, sehingga saat rapat paripurna tidak melalui inisiatif rapat pimpinan DPRD. Di mana rapat paripurna berikut hasil-hasil tidak memiliki dasar pijakan yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
"Dengan kata lain, jika rapat Paripurna melalui proses yang cacat prosedur, maka hasil-hasilnya pun cacat secara hukum sehingga setiap oknum pimpinan DPRD yang terlibat dalam melahirkan keputusan yang cacat hukum mesti dimintai pertangungjawaban secara hukum pula," ujar Khairul Umam.
Dijelaskannya, keikursertaan oknum Anggota dan Ketua Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Bengkalis salah satu Alat Kelengkapan DPRD secara fungsional diduduki orang-orang yang memiliki integritas diri yang tinggi, sehingga selain menghindari adanya perilaku tercela, juga dapat menjadi teladan bagi sesama anggota DPRD lainnya, yang terjadi sekarang dalam permasalahan ini justru Anggota dan Ketua Badan Kehormatan (BK) turut serta melahirkan surat 'mosi tidak percaya' dan secara otomatis menjadi 'pihak pelapor' di BK.
Bagaimana kemudian Anggota dan Ketua BK menjadi 'pihak pelapor' dan 'hakim' secara bersamaan atas kasus yang dilaporkanya sendiri? Bagaimana para Hakim BK bisa menghindari Conflict of interest padahal mereka sendiri bertindak sebagai pihak pelapor atau pengadu?
Lantaran itu, ujarnya, tindakan para Anggota dan Ketua BK tersebut menciderai marwah dari Badan Kehormatan (BK) DPRD Kabupaten Bengkalis, sehingga secara etik tidak pada tempatnya menjadi Anggota BK dan atau Hakim BK yang mengadili perkara ini.
"Patut diduga motivasi utama dari 'mosi tidak percaya' tersebut adalah motif politik, bukan motif kinerja. Artinya tindakan tersebut dimaksudkan untuk menjatuhkan kredibilitas, harkat, martabat, kehormatan dan harga diri dari Ketua DPRD Kabupaten. Bengkalis yang sah, bukan untuk perbaikan kinerja Lembaga DPRD Kabupaten Bengkalis," sebutnya.
Atas dasar itu, tambah Khairul Umam, demi menjaga kredibiltas, harkat, martabat, kehormatan dan harga diri kami baik secara pribadi maupun kepemimpinan Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis, dengan ini kami nyatakan sikap, tidak dapat menerima semua tuduhan-tuduhan sebagaimana tersebut di atas.
"Saya meneruskan permasalahan ini ke ranah hukum, khususnya atas semua tuduhan yang telah mengarah dan mengandung unsur pidana dan perdata yang dilakukan secara kajian hukum mendalam, sebab tuduhan-tuduhan dan perilaku oknum yang dapat mencoreng nama Lembaga DPRD Kabupaten Bengkalis," tandasnya.
Komentar Via Facebook :