Home / Kabar Khusus / Sepenggal Kisah Buana Makmur
Sepenggal Kisah Buana Makmur
Kampung (Desa) Buana Makmur. Tak ada yang menyangka kalau bekas Satuan Pemukiman (SP)11 ini bakal seramai sekarang. Persis seperti tetangga dekatnya SP12 dan SP1 hingga SP10 di bagian Selatan.
SP11 dan SP12 berada di Kecamatan Dayun, sementara SP1 hingga SP10, berjejer di kawasan Kecamatan Kerinci Kanan. Semuanya berada di Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Dari 12 SP itu, SP11 lah yang paling ramai. Sebab selain dijejali rumah-rumah beton yang rata-rata bagus, kawasan ini juga menjadi jalan pintas bagi orang yang mau ke Kerinci Kanan, atau sebaliknya. Lantaran menjadi jalan pintas, praktis, warung-warung tumbuh subur di kampung ini.
Semua perkampungan tadi adalah plasma nya PT. Inti Indosawit Subur (IIS). Dibilang begitu, lantaran anak perusahaan Asian Agri inilah yang disuruh pemerintah membangun kawasan pemukiman itu, plus kebun kelapa sawit warga pemukiman. Tiap keluarga kebagian dua hektar. Orang di sana sering menyebut satu kapling.
Layaknya SP-SP lain, 29 tahun silam, Buana Makmur masih hanya dijejali 400 unit rumah papan bercat putih.
Rumah berlantai semen yang masing-masing berada di atas lahan seluas 5000 meter itu, berukuran 6x6 meter, berderet rapi pada 13 jalur (lorong).
Januari 1995, barulah warga yang dikirim pemerintah dari Pulau Jawa melalui program transmigrasi, tiba di sana. Suyanto menjadi salah satunya.
Suyanto yang masa itu masih pengantin baru, datang bersama abangnya, Sugiyono, dari kawasan Rungkut, Surayabaya, Jawa Timur (Jatim). Sugiyono yang mengajak adiknya ikut mendaftar menjadi transmigran.
Setelah enam bulan sejak mendaftar, barulah dapat kabar kalau mereka akan dikirim ke Riau. "Saya mau ikut lantaran dijanjikan bakal dapat rumah dan lahan untuk bertani," kenang ayah tiga anak ini saat berbincang dengan Elaeis Media Group (EMG), tadi pagi.
Hanya saja, peserta transmigrasi tak boleh lajang. Itulah makanya kemudian dia buru-buru menikah dengan Hartini, yang kemudian manut diajak merantau.
Dari stasiun Surabaya, mereka bersama 35 kepala keluarga lainnya diberangkatkan naik kereta ke stasiun Senen, di Jakarta.
Dari sana, lanjut naik bus ke pelabuhan Tanjung Priok. Di sini, mereka kemudian berbaur dengan ratusan kepala keluarga dari berbagai daerah, untuk tujuan yang sama.
"Kami naik kapal angkatan laut. Kapal itu berlantai tiga. Lantai satu dan dua untuk warga transmigran, lantai paling atas anggota TNI angkatan laut. Enam hari 5 malam kami baru sampai ke Pelabuhan Dumai, di Riau," lagi-lagi Suyanto mengenang.
Dari Dumai kata jebolan SMP Bakti Rungkut ini, pakai bus Trio Trans, mereka tidak langsung diantar ke Dayun, tapi mampir dulu ke Transito Pekanbaru di kawasan jalan Adi Sucipto. "Dua malam di sini, barulah kami diantar ke SP11," ujarnya.
Tak ketulungan gembiranya warga ini begitu menengok rumah bercat putih tadi telah menanti. Tak terkecuali Suyanto. Setelah diundi, lelaki ini kebagian rumah di jalur 3.
Sebab di kampung, dia tidak akan pernah dapat durian runtuh seperti itu. Habis menikah saja, bungsu lima bersaudara ini hanya bisa menumpang di rumah singgah milik Departemen Sosial lantaran tidak punya rumah.
Sebagai peserta transmigrasi, Suyanto dan warga lainnya masih dikasi jatah hidup (jadup) oleh pemerintah selama setahun. Jadup itu berupa beras, minyak goreng, ikan, gula dan garam.
Suyanto pun mulai menggarap lahan pekarangan yang baginya teramat luas itu. Benih padi dan jagung yang juga dikasi pemerintah, dia tanam. "Wihhh..., lahannya subur, Pak. Pohon padinya tinggi-tinggi," kenangnya.
Tidak seharian dia menggarap lahan pekarangan itu. Sebab dari pukul 7.00 wib hingga pukul 14.00 wib, dia bersama warga lain telah menjadi Buruh Harian Lepas (BHL) di kebun perusahaan. Mulai dari memupuk, mengimas hingga membersihkan piringan pohon sawit, menjadi pekerjaan mereka. "Kami digaji Rp2000 per setengah hari itu," katanya.
Dua tahun setelah tinggal di sana, barulah warga mendapat jatah kebun. Perusahaan mengistilahkan konversi (menyerahkan kepada petani). Meski begitu, perusahaan tidak membiarkan petani bekerja sendiri, tapi masih tetap dikawal oleh mandor dan asisten dari perusahaan.
Makin giranglah Suyanto disodori kebun. Apalagi kebun itu sudah menghasilkan pula. Umur tanaman sudah 5 tahun.
"Waktu itu kami baru dapat hasil sekitar Rp150 ribu hingga Rp200 ribu sebulan. Soalnya kan pembayaran kebun itu kami cicil dari hasil kebun itu juga," ujarnya.
Singkat cerita, tahun 2000 an, warga transmigrasi ini sudah merasakan harga yang bagus. Mencapai angka Rp1000 perkilogram.
"Tahun 2008-2010, produksi kebun kami bisa mencapai 7-8 ton per kapling. Alhamdulillah, ekonomi kami terus membaik. Bagi yang ulet, akan kelihatan lebih lagi ekonominya, bahkan bisa menambah luasan kebun," katanya.
Makin ke sini, ekonomi masyarakat semakin bagus. Sebab itu tadi, selain harga semakin tinggi, kontrol perusahaan terhadap kebun melalui Koperasi Unit Desa (KUD), selalu berjalan.
Kini, masyarakat di sana sudah pula ada yang ikut peremajaan kebun. "Di kampung kami masih dalam proses pengusulan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang didanai Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)," terangnya.
Komentar Via Facebook :