Home / Nasional / Petani H2C Soal Denda Lahan Sawit di Kawasan Hutan
Petani H2C Soal Denda Lahan Sawit di Kawasan Hutan
Jakarta, katakabar.com - Petani atau pekebun kelapa sawit Harap-harap Cemas (H2C) dengan aturan pemerintah mengenakan denda administratif kepada lahan sawit di dalam kawasan hutan.
Selain itu, aturan denda administrasi bakal diberlakukan berisiko pada industri kelapa sawit dan kesejahteraan petani.
Diketahui pemerintah tengah mengebut pelepasan status kawasan hutan untuk kebun kelapa sawit yangsebelumnya telah mengantongi izin usaha. Di mana, batas waktu pendaftaran pelapasan status kawasan hutan tersebut paling lambat 2 November 2023.
UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja membagi dua tipologi kebun sawit di dalam kawasan hutan. Pertama, tipologi pertama diatur dalam pasal 110 A, yakni untuk kebun sawit di dalam kawasan hutan yang sebelumnya telah mengantongi izin. Kedua, yakni kebun sawit di dalam kawasan hutan yang belum memiliki izin alias ilegal diatur dalam pasal 110 B.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Seluruh Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung menilai petani kelapa sawit kebunnya masuk dalam kawasan hutan tidak bakal mampu membayar denda tersebut. Sebesar 5,8 persen dari total 3,37 juta hektar luas kebun kelapa sawit yang masuk dalam kawasan hutan milik petani rakyat.
Dari 200 ribu hektar kebun kelapa sawit di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi yang tidak berizin, dominan dimiliki para petani. Gulat menyebut luasnya mencapai 65 persen dari 200 ribu hektar itu, dilansir dari laman bisnis.com, pada Kamis (2/11).
"Ya cukup lumayan dan dipastikan kami tidak akan mampu membayar," ujar Gulat kemarin
Gulat memproyeksikan seluas 2,7 juta hektar lahan sawit nanti bakal masuk dalam aturan pasal 110 B yang mana dikenakan denda administratif sekaligus kesempatan usaha hanya 1 kali daur atau sekitar 25 tahun.
Menurutnya, dampak dari pengenaan sanksi tersebut berisiko memangkas produksi Crude Palam Oil (CPO) hingga 10 juta ton setiap tahunnya. Bahkan, berisiko menimbulkan kerusuhan di sentra-sentra perkebunan sawit.
"Kita bakal kehilangan uang Rp125 hingga Rp145 triliun per tahun dari perputaran hulu-hilir sawit. Negara akan kehilangan ratusan triliun dari pajak-pajak, BK dan pungutan ekspor dari 2,7 juta hektar tadi. Paling berbahaya adalah dampak sosial, ekonomi," cerita Gulat.
Setali tiga uang, anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika mengkhawatirkan hal serupa. Pemerintah perlu berhati-hati dalam menerapkan aturan denda tersebut.
Musababnya, basis industri kelapa sawit dari hulu hingga hilir dinilai sangat kompleks. Denda administratif itu dikhawatirkan akan dibebankan industri sawit kepada harga Tandan Buah Segar (TBS) petani yang kemungkinan besar menjadi anjlok hingga pasokan CPO maupun minyak goreng menjadi terganggu.
Yeka mengaku telah meminta KLHK untuk memitigasi risiko-risiko tersebut agar momentum Pemilu 2024 berjalan kondusif. Lantaran itu, adanya usulan penundaan penerapan aturan hingga peluang mekanisme cicilan untuk membayar denda bagi pelaku usaha.
"Bukan dibebaskan (dari sanksi). Pada intinya Ombudsman hanya ingin memastikan kenyamanan dan kepastian berusaha terjamin, serta penerapan hukum terjamin," tutur Yeka di Kantor Ombudsman, di penghujung Oktober
Komentar Via Facebook :